6 Kegiatan Dalam Budaya Adat Istiadat Suku Nias

6 Kegiatan Dalam Budaya Adat Istiadat Suku Nias

6 Kegiatan Dalam Budaya Adat Istiadat Suku Nias – Suku Nias adalah segolongan slot server thailand super gacor masyarakat asli Pulau Nias. Salah satu ciri khas Suku Nias adalah sebutan untuk diri mereka berupa Ono Niha atau yang berarti anak manusia. Hirza dalam artikel berjudul Berbagai Ragam Kebudayaan Nias menyebutkan bahwa Suku Nias dikenal sebagai masyarakat yang kaya akan budaya, seperti tari Maena hingga adat pernikahannya.  Nias merupakan wilayah kepulauan yang letaknya berada di sebelah barat Pulau Sumatera. Secara administratif, Pulau Nias masuk ke dalam wilayah Provinsi Sumatera Utara. Penduduk asli Nias menyebut diri mereka Ono Niha yang berarti anak manusia, sedangkan Pulau Nias disebut dengan Tano Niha yang berarti tanah manusia. Masyarakat Nias terkenal dengan upacara tradisional yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari.

Upacara Mata Pencaharian

Suku Nias mengenal tiga upacara yang biasa dilakukan dalam pencaharian nafkah, yaitu:

  • Upacara membuka hutan atau famohu tanö
  • Upacara ini adalah upacara memilih, menetapkan, spaceman dan meresmikan tanah sebagai hak milik. Pada
  • Upacara ini dilakukan doa permohonan rezeki kepada roh leluhur dan menyembah penguasa hutan.
  • Upacara permulaan mengetam atau fanekhe basitö. Tujuan upacara ini adalah untuk memberitahukan pada dewa atau roh dan arwah keluarga bahwa mereka akan memanen padi, terutama kepada roh orang tua dan dilaksanakan di rumah pemilik ladang sampai ke tempat tujuan.
  • Upacara Berburu atau Famalö. Upacara ini bertujuan untuk meminta izin penguasa hutan agar binatang-binatang yang merusak tanaman mereka direlakan untuk diburu.

Upacara Menolak Bala

Jika ada wabah penyakit yang menyerang maka penduduk desa akan memanggil tuhenöri atau raja adat untuk melakukan upacara menolak bala. Selanjutnya tuhenöri akan memanggil ere atau imam untuk melaksanakan kelanjutan upacara berupa persembahan untuk para dewa.

Upacara Perkawinan

Perkawinan dimulai dari tingkat pertunangan yang diprakarsai oleh orang tua pihak laki-laki. Setelah orang tua kedua belah pihak setuju, maka mereka akan mengusulkan agar anak laki-laki mereka ditunangkan dengan wanita impian sang anak. Hal ini menunjukkan bahwa pertunangan bukanlah urusan calon pengantin, melainkan orang tua kedua belah pihak. Dalam mengatur tunangan, orang tua pihak laki-laki akan menyuruh seorang wanita yang sudah dianggap tua untuk menyampaikan pesan kepada orang tua si pihak perempuan. Wanita yang bertugas sebagai penyampai pesan itu akan membawa sirih dan menyampaikannya pesan kepada orang tua si gadis. Jika orang tua gadis setuju maka akan diatur waktu untuk upacara pertunangan yang disebut dengan famatuasa.

Di upacara famatuasa, orang tua laki-laki akan menyerahkan emas kepada orang tua pihak perempuan yang disebut dengan istilah fasa manömanö atau paku kata-kata. Sejak bertunangan, calon menantu sudah bebas berkunjung maupun bekerja di rumah calon mertua. Perkawinan biasanya dilakukan setelah musim panen atau pada waktu persediaan beras sudah cukup. Jika orang tua si gadis merasa bahwa persediaan beras dan babi sudah cukup maka mereka menyetujui perkawinan karena orang tua pihak perempuan lebih banyak menentukan terhadap usul perkawinan.

Pihak perempuan akan menuntut emas jujuran kepada pihak laki-laki. Emas ini berkisar antara 80 moböli babi hingga satu karang 70 atau 69 batu emas seperti diistilahkan oleh orang Nias. Jika pihak perempuan telah menentukan emas jujuran yang mereka minta dan telah disetujui oleh pihak laki-laki, maka mereka akan segera mengatur upacara famalgi ana’a yang berarti pemeriksaan emas. Sekelompok ketua adat serta para perantara perkawinan akan datang ke rumah pihak laki-laki untuk memeriksa apakah jumlah emas telah tersedia atau belum.

Bila emas, beras, babi, dan lain-lain dirasa belum cukup, maka ayah calon mempelai laki-laki akan memanggil seluruh menantu serta kaum kerabat untuk meminta bantuan materi. Orang-orang yang dipanggil ini disebut dengan si so banai yang berarti orang-orang pendamping. Terdapat istilah manandrö dödö yang berarti meminta jantung. Di saat itu, calon menantu akan datang kepada calon mertuanya lalu mengatakan bahwa pihaknya tidak mampu untuk memenuhi jumlah emas jujuran yang diminta. Biasanya penawaran tersebut akan dikabulkan bila calon mertua merasa kasihan terhadap calon menantu dan menerimanya bila alasan penawaran itu tepat.

Di hari perkawinan, mempelai laki-laki akan ditemani oleh kerabat dan segenap masyarakat desa. Laki-laki dan perempuan yang disebut sanai niha berangkat ke rumah orang tua pengantin wanita. Pesta adat dan pembahasan tentang emas jujuran diadakan di rumah orang tua mempelai perempuan yang disebut dengan orahu. Setelah orahu selesai, pengantin perempuan dibawa ke rumah orang tua pengantin laki-laki. Pengantiin perempuan akan diberkati oleh ayah, saudara laki-laki ibu, serta kakek-kakeknya sebelum ia meninggalkan rumah orang tuanya.

Setelah kedua mempelai beserta rombongan sampai di rumah orang tua mempelai laki-laki, maka diadakan lagi pesta yang disebut tadi orahu. Perkawinan ditandai dengan adanya penyembeihan babi perkawinan di depan rumah pengantin laki-laki. Ditandai juga dengan adanya janji antara pengantin laki-laki dan perempuan bahwa mereka tidak akan berpisah kecuali oleh karena kematian yang biasanya dilakukan di gereja. Sebelum masuknya agama Kristen, deklarasi janji ini dilakukan di bawah bayangan patung nenek moyang. Selambat-lambatnya satu bulan setelah pernikahan, pengantin akan berkunjung ke rumah orang tua pengantin perempuan yang disebut dengan manörö. Saat manörö dilakukan, kedua pengantin akan membawa makanan dan teman-teman pengiring.

Upacara Perkawinan

Perkawinan dimulai dari tingkat pertunangan yang diprakarsai oleh orang tua pihak laki-laki. Setelah orang tua kedua belah pihak setuju, maka mereka akan mengusulkan agar anak laki-laki mereka ditunangkan dengan wanita impian sang anak. Hal ini menunjukkan bahwa pertunangan bukanlah urusan calon pengantin, melainkan orang tua kedua belah pihak. Dalam mengatur tunangan, orang tua pihak laki-laki akan menyuruh seorang wanita yang sudah dianggap tua untuk menyampaikan pesan kepada orang tua si pihak perempuan. Wanita yang bertugas sebagai penyampai pesan itu akan membawa sirih dan menyampaikannya pesan kepada orang tua si gadis. Jika orang tua gadis setuju maka akan diatur waktu untuk upacara pertunangan yang disebut dengan famatuasa.

Di upacara famatuasa, orang tua laki-laki akan menyerahkan emas kepada orang tua pihak perempuan yang disebut dengan istilah fasa manömanö atau paku kata-kata. Sejak bertunangan, calon menantu sudah bebas berkunjung maupun bekerja di rumah calon mertua. Perkawinan biasanya dilakukan setelah musim panen atau pada waktu persediaan beras sudah cukup. Jika orang tua si gadis merasa bahwa persediaan beras dan babi sudah cukup maka mereka menyetujui perkawinan karena orang tua pihak perempuan lebih banyak menentukan terhadap usul perkawinan.

Pihak perempuan akan menuntut emas jujuran kepada pihak laki-laki. Emas ini berkisar antara 80 moböli babi hingga satu karang 70 atau 69 batu emas seperti diistilahkan oleh orang Nias. Jika pihak perempuan telah menentukan emas jujuran yang mereka minta dan telah disetujui oleh pihak laki-laki, maka mereka akan segera mengatur upacara famalgi ana’a yang berarti pemeriksaan emas. Sekelompok ketua adat serta para perantara perkawinan akan datang ke rumah pihak laki-laki untuk memeriksa apakah jumlah emas telah tersedia atau belum. Bila emas, beras, babi, dan lain-lain dirasa belum cukup, maka ayah calon mempelai laki-laki akan memanggil seluruh menantu serta kaum kerabat untuk meminta bantuan materi. Orang-orang yang dipanggil ini disebut dengan si so banai yang berarti orang-orang pendamping.

Terdapat istilah manandrö dödö yang berarti meminta jantung. Di saat itu, calon menantu akan datang kepada calon mertuanya lalu mengatakan bahwa pihaknya tidak mampu untuk memenuhi jumlah emas jujuran yang diminta. Biasanya penawaran tersebut akan dikabulkan bila calon mertua merasa kasihan terhadap calon menantu dan menerimanya bila alasan penawaran itu tepat. Di hari perkawinan, mempelai laki-laki akan ditemani oleh kerabat dan segenap masyarakat desa. Laki-laki dan perempuan yang disebut sanai niha berangkat ke rumah orang tua pengantin wanita. Pesta adat dan pembahasan tentang emas jujuran diadakan di rumah orang tua mempelai perempuan yang disebut dengan orahu.

Setelah orahu selesai, pengantin perempuan dibawa ke rumah orang tua pengantin laki-laki. Pengantiin perempuan akan diberkati oleh ayah, saudara laki-laki ibu, serta kakek-kakeknya sebelum ia meninggalkan rumah orang tuanya. Setelah kedua mempelai beserta rombongan sampai di rumah orang tua mempelai laki-laki, maka diadakan lagi pesta yang disebut tadi orahu. Perkawinan ditandai dengan adanya penyembeihan babi perkawinan di depan rumah pengantin laki-laki. Ditandai juga dengan adanya janji antara pengantin laki-laki dan perempuan bahwa mereka tidak akan berpisah kecuali oleh karena kematian yang biasanya dilakukan di gereja. Sebelum masuknya agama Kristen, deklarasi janji ini dilakukan di bawah bayangan patung nenek moyang.

Pesta Adat

Selain upacara kelahiran, perkawinan, dan kematian, ada dua pesta adat dalam skala besar yang sering dilakukan pada masyarakat yang menganut aliran animisme, yaitu:

  • Pesta kedudukan atau owasa yang bertujuan untuk memperoleh kehormatan, kedudukan, serta gelar.
  • Pesta börö nadu yaitu pesta yang dikaitkan dengan kejadian penciptaan dan terjadinya suku Nias. Seorang yang mengadakan pesta memamerkan kekayaan dalam bentuk barang-barang emas serta menghamburkan kekayaannya dalam bentuk babi yang berjumlah banyak.

You May Also Like

More From Author

+ There are no comments

Add yours